Jumat, 11 Maret 2016

Sekuntum Bunga yang Beku




Wanita itu adalah bunga, entah itu bunga mawar yang indah namun berduri, bunga lili yang anggun namun rapuh, bunga putri malu yang sensitif dengan sentuhan, bunga sakura yang gugur, bunga melati yang wangi, bunga anggrek yang mahal atau bunga bangkai yang busuk namun langka.  Semua bunga adalah wanita. Mereka tumbuh terus menerus, semakin tumbuh semakin cantik baik itu dirawat atau diabaikan. Ketika bermekaran mereka meninggalkan sebagian diri mereka, mungkin itu serbuk sari, biji, daun, akar yang kelak akan tumbuh terus tumbuh menjadi diri yang sama.
Sebuah bunga bisa hidup dimana saja, ditanah gersang, ditanah basah, dibebatuan selama sumber kehidupan merestui mereka, mereka akan tumbuh dimanapun. Sekuntum bunga yang beku, bertahan hidup dimusim salju. Meskipun sebagian batang dan daun mereka telah membeku bahkan membusuk, mereka tidak berhenti untuk hidup, tumbuh dan menjadi indah.

Wanita yang terluka hatinya menjadi beku namun tumbuh lebih indah, mereka menjadi lebih anggun. Jangan coba-coba mencari wanita terluka dimasalalunya karena kau tidak akan pernah menemukan wanita yang sama lagi. Wanita yang terluka dimasalalunya telah ikut mati bersama luka-lukannya, yang kau dapati hari ini adalah wanita yang cantik, wanita yang luar biasa. Kau akan terpanah dengan segala keindahaan ahlaknya, kelembutan tutur katanya, dia menjadi dewasa.

Mungkin dihatinya masih menyimpan seribu tangis atau bahkan hingga saat ini disetiap malam malamnya pedih pilu masih menikam-nikam hatinya tapi lihatnya senyumnya ketika fajar mulai menyinsing, senyumnya tak pernah pahit.
Meski hatinya beku, wanita tidak pernah berhenti berharap suatu hari nanti akan ada hati yang bersedia menghangatkan kembali ruang dingin dihatinya.  Jangan bermimpi jika do’anya adalah mengembalikan hati yang telah menyakitinya, dan jangan  berpikir jika wanita memohon agar Sang Pengasih memberi luka yang sama kepada hati yang melukainya. Wanita tidak sekejam itu, meski hatinya tersayat berdarah wanita tidak ingin mendendam, yang diinginkannya hanya sebuah kedamaian untuk hati yang terluka dan menyakiti, sebuah keikhlasan bahwa ini adalah jalan yang harus ditempuhnya untuk terus tumbuh dan tumbuh. Ini adalah madrasahnya kesabarannya, ketika waktunya tiba bermekeranlah jiwa-jiwa yang anggun dan kuat begitu indahnya.
Begitupun dengan bunga, meski diinjak, dipetik, jatuh berguguran mereka akan terus tumbuh dan berbunga menampilkan warna yang terbaik dan menyebarkan wewangian yang dimilikinya. Jika bukan hari esok  bisa jadi dimusim yang akan datang bunga itu akan tumbuh lagi, tumbuh lagi, dan tumbuh terus.

Sabtu, 13 Februari 2016

Waktu yang Jahat


Ini akan menjadi pertemuan kami yang pertama setelah Sembilan tahun tidak bertemu.  Pada saat itu, dialah satu-satunya teman yang ku miliki. Diriku yang pendiam dan pemalu membuatku sulit berkawan, sama dengan dirinya kami lebih suka menghabiskan waktu disudut kelas sambil memandang keluar jendela, membaca buku, dan bertukar pesan. Pesan kriptografi, pesan yang bisa dilihat semua orang tapi hanya kami yang tahu artinya, karena kunci-kuncinya kami yang membuatnya.

pertengahan semester di bangku kelas menengah atas dia memutuskan akan ikut ibunya, jauh ribuan mil dari kota tempatku tinggal. Bahkan kami tidak sempat mengucapkan salam perpisahan, pergi begitu saja. Aku tidak tahu aku harus merasakan apa – aku belum pernah mengalami hal buruk dalam hidupku, seperti kehilangan seorang teman.

Kini kami cukup dewasa untuk bertemu, kami sudah berkepala dua memiliki jalan hidup yang berbeda. Rupa yang menawan, sikap yang berbeda dan karir yang matang. Kami dipertemukan di media sosial, sebuah grup dari sekolah kami yang terdahulu. Bertukar nomor telepon genggam, dia menyapa. Suaranya tidak cepreng lagi, iya dia bukan lagi anak tujuh belas tahunan, suaranya agak berat namun aksen dan caranya berbicara tidak berubah tetap hangat.

Tiba waktunya dia mengajak untuk bertemu. kali ini dia akan singgah di kota yang tidak jauh dari kotaku, kami telah menentukan tempat dan waktu. Selasa pukul tujuh malam, dia akan menungguku di stasiun bus pemberhentianku.
Aku berangkat pukul empat lewat tiga puluh menit tepat setelah pulang dari tempat kerjaku, aku langsung menuju station bus, cukup dua jam sampai kekotanya bahkan aku melebihkan tiga puluh menit untuk aku dapat berdandan sebelum bertemu dengannya.

Cuaca sedang hujan pada waktu yang telah kami janjikan. Langit menjadi mendung, dan udara pun semakin dingin. Kaca jendela berembun, aku menulis-nulis padanya untuk menghilangkan bosan. Aku mengintip ponselku, baterainya tinggal lima puluh persen, aku tidak akan bermain media sosial agar menghemat baterainya.
Hamparan hijau yang seharusnya menjadi pemandangan indah, aku hanya melihat warna abu dan cahaya dari rumah-rumah yang berjarak agak jauh. Mungkinkah ini sudah malam, aku melihat jam tanganku, masih pukul lima lima belas menit namun sudah terlihat gelap karena hujan yang makin deras.

Ini benar-benar dunia yang asing bagiku, tapi ketika aku melihat jauh keluar aku seperti merindukan sesuatu. Hamparan sawah, barisan gunung, rumah berjarak jauh, penduduk yang tidak ramai, jalan yang tidak luas, hal ini mengingatkanku akan tempat dimana aku dilahirkan. Bukan rindu biasa, tapi jiwa ku yang merindu, rindu dimana dia pertama melihat, merasa, mendengar kampung halamanku.

Laju bus kian melambat dan kadang terhenti sejenak. Aku menoleh kedepan, ku lihat antrian mobil di hadapannya. Apakah terjadi kemacetan di jalur yang nyaris sepi sejak ku pandangi selama perjalanan. Ketika aku melihat pemandangannya aku menjadi gelisah, aku hanya perpikir apakah aku dapat bertemu dengan tepat waktu. Bagaimana jika terlambat, aku melihat ponsel ku, sial aku lupa mematikan data selulerku kini baterainya tinggal lima belas persen. Aku mengirim pesan padanya jika aku sudah dijalan, dia hanya menjawab iya.
Hari kian gelap,siluet tidak lagi Nampak. Aku sangat takut melihat jam tanganku, ku mohon jangan tunjukkan pukul tujuh meski itu tidak tidak mengubah apapun dari jarak yang masih jauh dari tujuanku. Setiap bis berjalan sesenti itu memberiku harapan dan aku berharap ketika bis berjalan bis tidak akan berhenti lagi, tetapi setiap kali berhenti entah mengapa rasa sakit menghujam dadaku. Aku akan menghubungi untuk memberitahu bahwa aku akan sedikit terlambat. Apa !!! apakah takdir mempermainkanku ?? ponsel ku kehabisan baterai dan aku tidak menghapal nomornya. Aku mencari-cari dibuku catatan atau apapun di tasku nomornya yang mungkin aku simpan. Tetapi aku tidak menemukan nomor yang mungkin sengaja aku tulis.

Ketidaksabaran dan kepasrahan kini menekanku. Hapasku kian berat dan sesak, aku tidak bisa merasakan lagi kedinginan. Yang kurasakan hanya kekosongan, kini bis yang ku tumpangi benar benar berhenti total. Yang dapat ku lakukan hanyalah duduk disitu, menangis yang hening dan sekuat-kuatnya menahan setiap detik dari waktu yang jahat dan tidak sedetikpun dapat ku hentikan.

Aku berpikir pada pukul seperti ini apakah dia masih menungguku? Aku membayangkan kekhawatirannya, menghubungi nomorku berulang-ulang kali. Aku takut dia berpikir aku ingar janji, tetapi aku terus memohon untuk berhenti menungguku. Pulanglah, aku saja putus asa.

Sudah lewat empat jam sampai akhirnya bis mulai bergerak, namun aku yang terlanjur kaku hanya tertawa sinis. Tetapi entah mengapa aku tidak ingin berhenti, kini sudah menunjukkan  pukul sebelas lebih. Aku melihat keluar lagi yang hanya kegelapan, tiang-tiang listrik saling sahut menyahut, sedikit cahaya dari rumah  yang jauh. Entahlah, aku sedang berharap atau pasrah aku hanya melanjutkan perjalanan.
Kini sampai di tujuan, aku turun dengan pelan. Mataku mencari-cari sambil melangkah di ruang tunggu. Melangkah dan terus melangkah, aku menemukan seorang lelaki yang bersandar di pintu ruang tunggu sambil tersenyum dia megatakan “ kau terlambat”.